Hari ini masih sama,
dengan hari hari yang lalu. Dimana kamu masih tidak mendengar setiap teriakan
hatiku yang ingin jiwamu. Yang dengan tertatih menyeret kakinya demi
mengejarmu. Dan dengan terseok membawa raganya untuk berusaha memelukmu.
Kamu tahu, disekian
fase hidupku yang berdurasi 13 tahun, aku cuma sekali merasakan ‘rasa’ macam
ini. Yang menggerogoti jiwaku, hampir serupa dengan kanker. Tapi aku berjuang
mempertahankan rasa ini. Aku tak tahu, perasaan ini bodoh atau tidak. Tapi
setelah ku pikir, ini sangat bodoh. Sangat sangat bodoh. Memperjuangkan sesuatu
yang tak ada proses progess nya sama sekali. Tapi aku merasa nyaman.
Setiap jam, aku merasa
sunyi. Sebenarnya, aku tak ingin menamakan ini dengan sunyi. Tapi, cuma itu
kata yang tepat. Melihat jam berlalu sedikit demi sedikit, membuatku semakin
lelah. Membayangkan berapa banyak usaha yang kuperbuat tapi nol hasilnya.
Mungkin, Tuhan memberi sedikit jeda untuk pertemuan aku dan kamu.
Dan ternyata, aku
banyak belajar dari hening yang kau hadirkan. Yang membuatku bisu hanya dengan
satu kedipan mata. Dalam diam, aku memberi secuil perhatianku untukmu. Sakit
memang, saat melihat matamu berpaling saat bertemu tatapanku. Tanpa ada sedikit
senyuman.
Aku memang tak
mengetahui, berapa durasi waktu yang Tuhan tuliskan untuk kebersamaan kita.
Mungkin 2 hari, mugkin juga seminggu. Bahkan, bisa jadi selamanya. Tapi, itu
terlalu berlebihan. Hingga ragamu hilang bersama senja.
Memang, aku bukan anak
Sastra yang pandai menciptakan tulisan. Entah itu nyata atau cuma bullshit. Tapi,
tulisan ku yang ini memang nyata. Yang mewakili seluruh isi perasaanku yang
tumpah meruah saat melihat tubuhmu di depanku. Tanpa menganggapku ada, pasti.
Pernah aku bertanya,
kenapa rasa suka itu harus ada? Mengapa hukum alam tidak menghapuskannya? Tapi,
tak terjawab hingga sekarang. Hingga aku menemukan kamu di kehidupan asingku.
Dan ternyata, aku menemukan kosa kata asing. Lagi. Yaitu, Karma. Dan memang aku
mendapatkannya sekarang.
Dan apakah kamu tahu,
tentang jiwaku yang perlahan gila menunggumu dari pagi buta hingga senja
tenggelam? Dan buruknya, aku melakukan itu setiap hari. Walau kututupi dengan
tawaku, dengan wajah riangku di hadapan lingkunganku. Tetapi, kamu tetap tidak
tahu. Sampai-sampai, aku pernah menggertak Tuhan. Meminta, agar tongkat-Nya
dapat mendekatkan aku selangkah lagi dengan dirimu.
Ini memang bukan lomba
mengarang ataupun semacamnya. Aku memang mengarang, tapi berdasarkan kenyataan.
Kenyataan bahwa jiwaku punya hati, dan hatiku punya perasaan. Dan perasaanku,
punya kamu.
galau ta dit??
BalasHapusStalk ya...
Hapus